
Apakah fenomena menopause juga terjadi pada pria, dan bagaimana hal ini akan berdampak pada fisik dan emosi seseorang?
PERTANYAAN 1
Kita sering mendengar wanita yang mengalami menopause. Namun, apakah pria juga dapat mengalaminya? Dapatkah Anda menjelaskan gejala yang akan dialami pasien, dan bagaimana cara mencegahnya?
JAWABAN:
Pria juga dapat mengalami menopause, seperti wanita.
Kondisi ini disebut dengan andropause, dan terjadi akibat kekurangan hormon androgen, terutama testosteron.
Selain mempengaruhi sistem organ tubuh, individu yang menghadapi kondisi ini, yang disebut hipogonadisme, akan mengalami permasalahan psikologis, emosional, dan seksual.
Namun, kondisi ini juga dapat dialami oleh pria remaja dan dewasa. Pasien umumnya akan mengalami gejala berikut:
Selain itu, kekurangan testosteron juga dapat membawa risiko lebih tinggi lagi.
Risiko penyakit
Pasien dapat mengalami penyakit kardiovaskular yet (jantung), tekanan darah tinggi, diabetes, dan kolesterol tinggi.
Individu juga dapat lebih rentan mengalami osteoporosis, anemia (kurang darah), dan demensia (pikun).
Gaya hidup tidak sehat, seperti kurang berolahraga, mengonsumsi makanan siap saji, dan mengonsumsi alkohol, adalah faktor-faktor yang menyertai pria yang mengalami penurunan kadar testosteron.
Perokok dan individu yang mengonsumsi narkoba juga memiliki risiko yang sama.
Selain itu, penyakit jantung dan ginjal, diabetes, obesitas, hipertensi, dan hiperkolesterolemia adalah beberapa penyakit yang membuat individu rentan terhadap andropause.
Pencegahan dini dapat dilakukan dengan mengonsumsi diet sehat, serta menjaga berat badan ideal.
Individu direkomendasikan berolahraga setidaknya 30 menit sehari, dan menghindari konsumsi alkohol.
Disarankan pula untuk pasien mencari bantuan medis profesional jika mereka mengalami gejala andropause.
PERTANYAAN 2
Bagaimana cara mendiagnosis andropause, dan apa metode yang paling efektif untuk menangani kondisi ini?
JAWABAN:
Diagnosis kekurangan testosteron pada pasien dilakukan berdasarkan gejala fisik dan klinis yang dialami.
Kadar testosteron dalam tubuh pasien perlu diperiksa.
Akan dibutuhkan perawatan berkepanjangan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien, dan terapi penggantian testosteron merupakan metode terbaru untuk mengembalikan kadar hormon ke level normal.
Injeksi intramuskular akan dilakukan tiap beberapa minggu atau bulan.
Namun, metode ini dapat meningkatkan sel-sel darah merah, dan menghasilkan penggumpalan darah di paru-paru.
Mikroemboli paru adalah salah satu faktor mengapa metode injeksi jangka panjang belum disetujui Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat.
Tidak seperti gel testosteron, yang penggunaannya dianggap lebih aman.
Pasien hanya mengoleskannya di lengan, bahu, paha, atau perut, dan gel akan terserap lewat kulit ke dalam tubuh.
Selain sudah disetujui FDA, bahan yang digunakan memiliki lebih sedikit efek samping pada penggunanya.
Terapi penggantian testosteron meningkatkan komposisi tubuh dengan membentuk otot dan mengurangi massa lemak.
Selain itu, metode ini juga dapat meningkatkan sensitivitas insulin, yang memperbaiki sindrom metabolik dan mengurangi risiko diabetes tipe-2.
Terapi ini juga membantu memperbaiki fungsi seksual, emosi, energi, dan depresi.
Tidak hanya itu, terapi ini juga mengurangi risiko kematian dan beberapa faktor penyebab penyakit kardiovaskular.
Namun, penting untuk diingat bahwa terapi penggantian testosteron tidak cocok diterapkan pada pasien kanker prostat.
Mereka yang mengalami gangguan pernapasan saat tidur (apnea tidur) dan memiliki sel darah merah berlebih juga tidak disarankan untuk menjalani terapi penggantian testosteron.
Pasien juga harus memahami bahwa terapi penggantian hormon adalah pengobatan seumur hidup.
Dokter akan menyarankan pasien mengoleskan gel tersebut setiap hari.
Hal ini bertujuan untuk memastikan kadar testosteron yang lebih stabil, yang berarti fisiologi darah yang diproduksi testis juga stabil.
Pasien juga disarankan untuk tidak mandi satu jam setelah mengoleskan gel di kulit mereka.
Langkah ini membantu penggantian testosteron benar-benar meresap ke dalam tubuh.
Namun, terapi harus dihentikan jika terjadi komplikasi, terutama jika terdapat peningkatan persentase sel darah merah atau hematokrit.